Berkreasi, Berkarya, Berjuang dengan Pena

Senin, 28 Maret 2011

PADAMU TUHAN KU HAMPARKAN

Padamu Tuhan ku hamparkan
Adin Albana

Terbingkis untukmu sebuah kata nan sendu
Dalam kesendirianmu nan jauh merindu
Disini…kurangkai kata itu..
Disini…kualirkan rindu untukmu..

Hanya anginlah penghantar semua yang ada di kalbu
Saat aku telah jenuh menunggu
Atas apa yang menjadi rintihan kalbu
Semua pun menjadi kaku..

Kenapa…
Kenapa ini harus terjadi..
Kenapa..
Kenapa semua ini harus kurasa..

Bukan kusesali..
Tidak pun ku ingkari..
Atas apa yang telah terjadi..
Namun bahagiakah dia yang juga mengalami..

RIndu…
Memang hiasan kalbu
Makna cinta yang menggebu..
Namun rindu adalah duri yang taburkan sembilu,jika tidak bertemu..

Tuhan..
Apa yang harus aku lakukan..
Haruskah aku berenang hingga ketepian..
Menggapai apa yang di sebut impian..???

Tuhan…
Berikan dia sebagai kenyataan..
Dalam sebuah impinku yang sangat panjang…
Hingga aku kelak menutup mataku dalam pangkuannya
Dalam tetesan air matanya..
Dan dalam kecupan kasih sayangnya

Tuhan ..
Izinkan aku mendampinginya..
hingga aku yang harus menutup mata dalam kecupan manisnya
menemuiMu bersama cintanya dan cintaku padaMu..

Tuhan…
kuhamparkan semua ini kepadaMu
Engkaulah sang Maha Penentu Segala..

RASA

Rasa
Halim Firdaus
 
 
sesak di dada merasuk sukma
tiada kata yang menyiratkannya
akankah ini berlangsung lama?

terkadang suka
terkadang duka
tak ayal mimpi menjadi nyata
jerit dan tangis jadi iringannya

kelu, kaku, tiada kata
akankah benci yang tersisa?
atau kah cinta yang membara?

satu kata yang tersisa
satu nafas yang terhempas
satu cita yang terampas....

JANJI

Pengakuan seorang laki – laki di depan Umar bin Khattab tentang perbuatannya yang menyebabkan kematian seseorang telah membawanya kepada vonis hukum yang harus dia hadapi. Amirul Mukminin Umar bin Khattab, salah satu Khalifah yang dikenal tegas, menetapkan qishah, hukuman mati.
“Kamu telah mengakui apa yang kamu lakukan. Tidak ada alasan bagiku untuk menetapkan hukuman selain hukuman mati.”
“Sam’an wa tha’atan, aku menerima putusan hukum ini ya Amiral Mukminin, aku ridla diberlakukannya syariah Islam terhadap diriku, tetapi aku meminta waktu untuk menyelesaikan urusanku”
“Urusan apa?”
“Demi Allah, Ayahku telah memberikan kepadaku amanat sebelum dia meninggal dunia.”
“Apa yang diamanatkan kepadamu?”
“Ya Amiral Mukinin, sesungguhnya aku memiliki seorang adik... Ayahku telah berpesan kepadaku sebelum malaikatul maut mencabut ruhnya..”

Sejenak laki – laki itu diam, mengingat kembali pesan sang Ayah, mengatur nafas, menahan tangis. Rasa tanggung jawab sebagai seorang kakak perlahan membangkitkan keberaniannya untuk duduk tegak di hadapan Amirul Mukminin.
 “Ya Amiral Mukminin, Ayahku memberikan amanat hartabenda yang harus aku jaga dan aku berikan kepada adikku jika dia telah dewasa. Aku menyimpan hartabenda itu di suatu tempat tersembunyi, hanya aku yang tahu dan dapat mengambil harta itu...”
 Hening, sepi... Semuanya diam mendengarkan kata demi kata yang keluar lugas dari lisan laki – laki yang menghadapi hukuman mati. Sopan dan lembut tuturkatanya menunjukkan kebesaran jiwa dan kejujuran.
“Ya Amirul Mukminin... Hari ini telah ditetapkan kepadaku hukuman mati dan aku talah ridla dengan ketetapanmu. Jika kau hukum mati aku sekarang, maka kaulah penyebab saudaraku tidak akan mendapatkan haknya. Aku memohon waktu tiga hari agar aku dapat menyelesaikan urusanku, mencari orang terpercaya untuk menjadi wali dari saudaraku.”
“Bagaimana aku bisa memastikan kamu akan datang kembali untuk menjalani hukuman mati?”
“Semoga engkau ya Amiral Mukminin memenuhi permintaanku dan semoga ada orang yang mau menjamin ucapan dan janjiku.”
Umar memandangi laki – laki di depannya, memperhatikan wajah jujur dan penuh harap. Dia pandangi pula orang – orang di sekitarnya. Hanya ada keheningan... Para sahabat terdiam, dua laki – laki keluarga korban yang bersuara lantang saat melaporkan kejadian pembunuhan hanya membisu menunggu kalimat yang akan terucap dari Amirul Mukminin.
“Siapa di antara kalian yang akan menjamin perkataan laki –laki ini? Siapa di antara kalian yang menjamin laki – laki ini akan kembali setelah urusannya selesai dalam tiga hari?” Pertanyaan Umar memecah keheningan.
Tidak ada jawaban.
Laki – laki di depan Amirul Mukminin itu kemudian memandangi satu persatu orang – orang di sekitarnya. Matanya berhenti menatap kepada satu sosok Abu Dzarr Al – Ghiffari.
“Wahai Anda sahabat yang mulia, aku memohon kepadamu agar menjamin kepergianku selama tiga hari.”
Semua mata menatap ke arah Abu Dzarr. Sosok dengan mata teduh penuh keyakinan itu mendekati Umar bin Khattab, tiada tampak sedikitpun keraguan dari wajahnya.
“Ya Umar, aku menjadi jaminan atas kepergiannya selama tiga hari” ucapnya tegas
“Ya Aba Dzarr, tahukah kamu yang kamu lakukan?”
“Aku sadari apa yang aku katakan.”
“Tahukah kamu, jika terpidana ini tidak datang seseuai janjinya, kamu yang akan menjalani hukuman mati sebagai tanggung jawabmu?”
“Aku tahu itu.”
Tiada kalimat lagi terucap, tiada kata lagi terungkap. Semua yang menyaksikan peristiwa itu hanya terpaku diam. Wajah – wajah dengan rona penuh kecemasan, air mata yang mengalir haru, khawatir, hanya itu...
“Ya Umar, telah ada seorang mulia yang menjamin kepergianku selama tiga hari.”
“Pergilah! Selesaikan semua urusanmu dalam tiga hari.”
Terpidana itu bangkit, berjalan melewati kerumunan orang – orang yang memandangnya dengan wajah kesal, memandangnya dengan mata ancaman. Seolah semua berkata “Awas! Jika tak kamu tepati janjimu.”
***

Matahari telah terbit, meninggi. Hari eksekusi mati telah tiba. Berbondong orang berjalan menuju tempat pelaksanaan qishah, hukuman mati.
Matahari semakin meninggi saat orang – orang mulai saling pandang, bertanya – tanya, berharap, cemas.
Bisik – bisik kekhawatiran mulai terdengar.
“Fulan belum juga datang”
“Jangan – jangan melarikan diri”
“Kita tunggu saja”
“Kalau fulan tidak datang menjalani hukuman hari ini, alangkah malangnya Abu Dzarr”
Dua pemuda keluarga korban yang telah lama ikut menunggu tampak mulai gusar.
“Ya Aba Dzarr...! Kau yang telah memberikan jaminan. Dimana orang yang kau jamin? Mana mungkin orang yang sengaja lari dari hukuman akan datang untuk menerima hukumannya?”
Suara penuh amarah dari laki – laki keluarga korban semakin memanaskan hari yang telah mulai panas.

Abu Dzarr dengan tenang dan dengan penuh wibawa menyunggingkan senyum. Satu senyum yang mampu menyejukkan panasnya sengatan sinar mentari.
“Jika sampai akhir hari ini, orang yang aku jamin kedatangannya untuk menjalani hukuman mati tidak datang, aku pasti akan menepati janjiku dan aku akan menyerahkan jiwaku sebagai pengganti untuk menerima hukuman mati.”
Seketika Umar bin Khattab berkata “Demi Allah, jika yang kau jamin kedatangannya tidak datang pada hari ini, maka aku akan memberlakukan hukum yang telah aku tetapkan pada Abu Dzarr.”
Isak tangis lirih mulai terdengar, puluhan pasang mata tampak berkaca-kaca memandangi seorang Abu Dzarr. Beberapa sahabat Nabi menemui keluarga korban dan menawarkan diyat, denda  sebagai ganti hukuman qishash. Keluarga korban tetap kokoh pada keputusan dilaksanakannya hukum qishash, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.
 Waktu berjalan semakin mendekati batas waktu yang ditentukan. Tanah kering tlah basah terguyur tumpahan air mata. Setiap mata menatap hanya pada satu arah, satu sosok  Abu Dzarr. Seorang sahabat Nabi dari kampung Ghiffar. Kecintaan kepada sahabat besar seperti Abu Dzarr, rasa sedih dan khawatir terhadap sesuatu yang akan menimpanya membuat semua orang yang datang pada saat itu tidak lagi memikirkan laki – laki yang sejak pagi ditunggu – tunggu kedatangannya.
“Assalamu’alaikum”
Suara salam.. Suara yang tak asing dalam pendengaran mereka... Yaa... Suara seorang laki – laki yang dinanti. Tiada keraguan dalam suara itu. Suara salam yang teramat indah untuk dilukiskan. Suara salam yang merubah tangis duka menjadi suka, menghapus segala gundah, memberi warna indah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah”
Wajah lelah bermandi keringat laki – laki yang datang itu tampak laksana satu bintang di antara berjuta bintang. Dia datang di hadapan Amirul Mukminin, di antara para sahabat Nabi yang mulia.
“Ya Amiral Mukminin... Telah aku serahkan urusan saudaraku yang masih kecil kepada paman - pamanku. Aku telah menceritakan kepada mereka tentang keadaanku, tentang apa yang harus aku hadapi. Dan hari ini aku datang memenuhi janjiku untuk menerima hukuman mati.”
Betapa mulianya. Tak ada satupun dari yang menyaksikan peristiwa itu tidak merasa kagum kepada laki – laki yang telah datang untuk menepati janji. Bukan janji biasa, tapi janji untuk menjalani hukuman mati.

Dua laki – laki keluarga korban pembunuhan berjalan menghadap Umar bin Khattab.
“Ya Amiral Mukminin... Kami memaafkan perbuatannya yang telah menyebabkan kematian ayah kami. Kami memaafkannya semata – mata karena mengharap ridhallah ”
*)Terjemahan "al-wafa' bil 'ahdi"

Sabtu, 26 Maret 2011

CATATAN SEORANG ANAK KECIL


Catatan Seorang Anak Kecil
Ani Lilin Kecil


Di balik teduh pohon rimbun ia tuliskan goresan pilu
Bersama daun-daun kering ia layangkan pias asa
Lewat akar-akar tunggang ia titipkan pesan pada air
bahwa Bumi sebentar lagi mati...

Secarik kertas membuar lantaran badai berkabut
Pucat hatinya
cemas dirinya
keringat sebutir jagung luruh satu per satu
menikam tanah yang kian basah

Kini ia tak tahu di mana harus menulis
di mana ia luapkan rasa yang kian merilis
tak tega ia pahatkan catatan kecil pada sebatang pohon kering
bahwa Bumi sebentar lagi mati

Selasa, 22 Maret 2011

TENTANG KATA

Tentang Kata
Catatan Ani Lilin Kecil

Kata membisik kata
Biar kata tenggelam dalam kata
Tumpang tindih, bersaling silang

Kata dan irama memadu sendu dalam biru
Kata terkungkung dalam kebisuannya
Hanya tentang kata
Meski ia terpasung dalam dirinya
Ia mampu jabarkan segala rasa
Segala cipta, angan-angan, bahkan impian

Kata laksana mesin pemindai
Menggambarkan semua apa adanya
Menggambarkan kejujuran, ketulusan

Namun, pabila kata sudah berkhianat pada dirinya
Ia mampu putar balikkan fakta
Dengan kata ia menuduh
Dengan kata ia menghujat
Dengan kata ia menipu
Dengan kata ia berkelit
Dengan kata ia membenamkan
Dengan kata ia menghancurkan
Dan dengan kata ia membunuh!

Hanya tentang kata
Kata yang tak bisa jabarkan dirinya

Kamis, 17 Maret 2011

MUATAN RELIGIUS DI TENGAH PENULIS FIKSI

Muatan Religius di Tengah-tengah para Penulis Fiksi

 1. Masalah Realitas Sastra yang Ada

Eksprresi seni, apapun bentuknya, akan dapat dijadikan titik tolak dan menjadi indikator pembaca dalam melakukan kerja analisis serta apresiasi atas ekspresi seni itu. Wujud ekspresi menunjukkan kesiapan hal tersebut pada apa yang dikatakan "sosialisasi". Ekspresi seni menyiapkan diri berinteraksi komunikasi dengan hal diluarnya. Maka jadilah buah pembahasan tentang karya seni dimana-mana, misalnya seminar, sarasehan, dan bentuk-bentuk pembahasan lain yang disukai.

Seorang pendeta Nasrani yang banyak tahu mengenai agama-agama, bahkan tentang agama Islam, membuat pernyataan, bahwa pada mulanya semua ekspresi seni itu bersifat religius. Pernyataan ini sebenarnya secara spesifik ditujukan kepada ekspresi seni bidang sastra. Seni sastra berarti seni yang dilahirkan dengan wujud tulisan (Mangunwijaya, 1988 : 11)
"Pada awal mula, segala sastra adalah religiositas"
Dinyatakan "segala sastra" berarti dengan demikian, meliputi bentuk-bentuk ekspresi karya bidang sastra. Sebagaimana orang telah memahami, bahwa bentuk-bentuk yang dimaksud adalah berupa karya prosa, perpuisian, serta karya tulis naskah drama. Semua bentuk tersebut ditulis atas dasar maksud-maksud yang terkandung dari pikiran-pikiran para sastrawan yang religius. Para penulis sastra adalah sebuah sosok yang secara alamiah mengemban dua dimensi alamiah, yaitu kalbu yang religius dan jasad fisik yang realitas empirik
.
Lalu, apakah ada ekspresi sastra, sama sekali, tidak berkandungan anasir religius?
Nah, inilah yang barangkali menarik dijadikan bahan pembicaraan. Masalahnya perkembangan waktu, serta perubahan orientasi budaya masyarakat pada gilirannya bisa  berakibat mementahkan semuanya. Semisal, kebudayaan pragmatik. Kebudayaan ini  pada akhirnya banyak mengantarkan orang memiliki kecenderungan orientasi berpikir serba lahiriah. Segala sesuatu yang terjadi akan dilihat dari hal-hal yang tampak oleh penglihatan mata real manusia. Sedangkan segala sesuatu yang tidak terlihat, bagi paham ini, tidak perlu dibicarakan di sini.

Menurut Abulhasan Annadwi (1986 : 32), secara gampang, sebab-sebab lahiriah ini bisa dilihat, namun umumnya orang jarang memiliki kesanggupan mengetahui sebab-sebab bathiniah. Memang, persoalan yang berkadar "dunia dalam" bagi masyarakat umumnya, terlalu sulit bagi mereka untuk meng-kaji. Memerlukan cara tersendiri apabila orang ingin melakukan penelusuran dimensi batiniah tersebut. Perlu melakukan langkah-langkah pendekatan kearah sana. Orang tidak harus menebak jitu, seperti yang pernah ada dalam ‘gambling’ tebak kuis, pada urusan itu. Sehingga urusan dunia batiniah itu memang benar-benar tidak segampang bila orang berurusan dengan hal-hal yang lahiriah.

Masalah dunia realitas juga bermula dari hal-hal yang kasat mata. Suatu proses penciptaan karya sastra senantiasa bertolak dari peristiwa kasat mata, kemudian lebih jauh pengarang menariknya ke pengolahan atau internalisasi menuju dunia demensi dalam. Dunia yang berkaitan erat dengan sesuatu yang lahiriah, sebagaimana dinyatakan oleh Umar Junus (1983 : 3), bahwa orang tidak mungkin berimajinasi tanpa pengetahuan, suatu realitas. Oleh karena itu, imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangakan realitas tidak mungkin dapat dilepaskan dari imajinasi.

Kadang orang membuat pernyataan yang sangat rumit dan pelik menyangkut imajinasi. Ada yang mengistilahkan, bahwa imajinasi merupakan dunia bawah sadar. Bisa saja orang membuat pernyataan lain-lain mengenai hal itu. Akan tetapi hal itu malah dapat membingungkan orang. Semua orang secara kodrati diberi bekal dasar kecakapan berimajinasi. Akal sehat menjadikan mereka sanggup menyadap suatu realitas dengan dibumbui pikiran-pikiran imajinasi.

Menulis karya sastra, menurut Umar Yunus (1983)  merupakan sebuah proses yang diawali dari suatu peristiwa nyata. Barulah setelah itu diinternalisasi dengan kemampuan imajinasi secara kreatif. Suatu daya khayal yang menyebabkan orang lebih leluasa dalam mewujudkan semua kemauan. Dengan berimajinasi orang menjadi terlepas dari kungkungan waktu dan ruang realitasnya. Tidak ada lagi sekat-sekat keterbatasan pikiran.

Menurut Danarto dalam Duapuluh Sastrawan Bicara (1984) manusia hanyalah semacam talang, saluran. Sebagai tempat penyaluran, di sana, segalanya akan mengalir lewat talang itu. Ditambahkannya, semua perasaan benci, baik, buruk maupun kotor, tentu tidak terkecuali, akan mengalir melalui talang saluran itu. Bukan berarti pasif dalam hal ini, melainkan demensi pandangnya adalah kebesaran yang Maha Mutlak. Setiap yang diciptakan oleh-Nya, tentu berlaku hukum akan mengikuti sekehendak yang menciptakan.

2. Sastra Religius

Jika pemahaman kita salah tarik atas pernyataan Danarto, manusia sebagai talang saluran, maka semua akan menjadi bingung lagi. Karena selain dari itu, Danarto juga pernah menyatakan dalam buku Duapuluh Sastrawan Bicara (1984) "Trenyata ada yang menulis digerakkan, didorong dan dijiwai oleh pandangannya itu. Sehingga pengarang merasa berkewajiban tertentu dalam menulis".

 Menangkap substansi dari pernyataan di atas, yang paling penting di sini adalah subjek penulisnya. Manusia yang menjadi penulis sangat menentukan warna dan corak dari karya yang dihasilkan. Hitam atau putih dari suatu karya sastra, tentu sangat bergantung dari pikiran apa yang ada dibenak sang sastrawan. Sehingga, pandangan ini tidak menempatkan cipta sastra sebagai buah karya yang otonom dan berdiri sendiri. Kalau ada isi dan corak yang dianggap bersinggungan dengan realitas yang ada, tentu akan berkaitan erat dengan siapa penulisnya. Didorong oleh keinginan apa/bagaimana mereka melahirkan tulisan sastra seperti itu.

Bagaimana dengan pendapat yang menyatakan, bahwa pada awal mula segala sastra itu religius?
Tentu tidak salah. Sebab lahirnya ekspresi sastra bermula dari suatu peristiwa yang diinternalisasi oleh batin atau kalbu sang pengarang, sehingga isi perasaan religius akan turut serta dilahirkan ke permukaan. Jika ada sebuah karya, yang ternyata sama sekali tidak bermuatan anasir religius, tentu karya tersebut tidak berjaminan bernilai sastra. 

3. Penulis Fiksi Kita 

 Uraian di atas bermaksud menggiring pada fokus mengenai si penulis fiksi. Sebelum beranjak jadi penulis, orang harus dijiwai tata nilai alamiah, yaitu landasan pengetahuan. Sang Maha pencipta mengisyaratkan awal mula orang mendapatkan pengetauan pada demensi realitas dengan perintah : Bacalah! (Q.S. Al-alaq : 3-5). Maka diperolehlah pengetahuan. Tata nilai yang religius ini berlaku universal bagi kepercayaan atau agama manapun tanpa terkecuali. Urusan agama tertentu punya kaidah yang sejalan, itu hanya persoalan kebingungan realitas saja. Namun esensinya akan tetap.

Dengan demikian, tidak ada pengarang sastra yang bisa mengingkari muatan religius dalam karyanya. Realita yang ada, bahwa orang yang akan jadi penulis fiksi harus sering-sering membangun kesadaran religiusitas atas dirinya. Sehingga mereka tidak mudah tergiring sekedar pemenuhan mengarang tanpa bobot muatan religius, seperti penulis fiksi paham pop yang pragmatis itu.

Apa kaitan religius dengan imajinasi?

Sastra tanpa bobot muatan perasaan manusia religius? Sama artinya dengan sebuah karya yang tidak mengandung isi. Karena yang namanya isi sastra adalah bobot perasaan. Sekarang yang terjadi, tinggal penulis kita yang banyak mengantongi terus-menerus dan mengasah perasaan-perasaan religiusnya, sehingga sudah pasti hasil karyanya nanti akan bermuatan anasir-anasir religius.


*) Affan Subandi
Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Banyuwangi.

Rabu, 16 Maret 2011

Keajaiban membaca

KEAJAIBAN MEMBACA
By Abi Manyu

Sahabatku, Allah memberi kita nikmat dua bola mata untuk melihat, melihat ciptaan-Nya di ikuti mengucap syukur atas segala nikmat itu. Kita terkadang lalai dengan nikmat yang di anugerahkan Allah kepada kita. Jika ingin merasakan nikmat mata maka bertanyalah kepada orang yang buta. Atau cobalah menutup mata anda menggunakan penutup mata atau apapun yang bisa menutup mata, lakukan sejak bangun pagi hingga sore hari. Rasakan kegelapan yang menyelimuti sekitar kita. Dalam kegelapan itu lakukan aktifitas sehari-hari seperti biasa! Mandi makan, bersih-bersih, kerja, pergi ke pasar, sekolah atau mungkin menonton TV. Apa yang anda rasakan !, saya yakin jawabnya adalah tersiksa, gelap gulita, hitam pekat persis seperti ketika kita ada dalam kegelapan malam. Tidak mampu melihat apapun, dan siapaun.

Mata juga di anugerahkan Allah kepada kita agar kita membaca; membaca tanda kebesaran Allah di sekitar kita, membaca buku, membaca koran membaca perubahan jaman, membaca situasi dan kondisi. Bersyukur saya di beri anugerah mata, dengan mata ini saya bisa menikmati indahnya pemandangan panorama alam di pagi hari, indahnya matahari pagi, indahnya senyuman sahabat, indahnya kuntum mawar yang merekah. Dengan mata juga saya bisa menikmati sastra pujangga berabad-abad yang lalu, dengan membaca saya bisa merasakan patriotisme prajurit islam dalam perang badar. Membaca mampu membawa saya ke suatu masa bagaimana imam Syafi'i hijrah dari kota ke kota lain untuk mendapatkan hadist sohih selama bertahun-tahun. Dengan membaca saya mampu menitikkan air mata merasakan bagaimana habiburrahman al syeirozy menggoreskan ayat-ayat cinta. Dengan membaca dada saya bergetar hebat merasakan Bagaimana bung Tomo memekikkan kalimat Allahu akbar dalam mengobarkan semangat arek-arek suroboyo.

Maka kedudukan membaca adalah sangat penting bagi manusia. Ingat! ayat yang pertama turun adalah perintah membaca! Iqro' .Jika kita sudah mampu membaca dengan baik, maka biasakan diri dengan menulis, mencatat segala sesuatu yang berkesan dalam hidup, karena hal itu akan menjadi sejarah dalam hidupmu! Kita tidak akan mengetahui sejarah perjuangan para sahabat jika tidak ada tulisan, kisah perjuangan dan pengorbanan para pahlawan melawan penjajah akan hilang di telan masa jika tanpa tulisan. Maka catatlah, tuliskanlah dengan pena hal hal yang di anggap penting dan bersejarah. Selamat mencatat dan membuat sejarah, karena tulisanmu akan di baca oleh orang lima puluh, seratus tahun, hingga seribu tahun yang akan datang

Membaca berarti membuka mata dan hati
Melihat realitas di sekitar kita