MEMBACA KETELADANAN IBRAHIM
(catatan malam iedul adha)
Hari Raya
Idul Adha mengingatkan kepada ketaatan seorang hamba Allah dan nabiNya Ibrahim dan
putranya Isma’il ‘Alaihimassalam terhadap perintah Allah. Allah Ta’ala telah memberikan
pujian kepada Ibrahim ‘Alaihissalam. Allah berfirman:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً
قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ◌ شَاكِرًا
لِّأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ◌ وَآتَيْنَاهُ
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ ◌ ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ ◌
Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan
hanif dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah
memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia,
dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl:
120-123)
Apa yang
difirmankan oleh Allah dalam ayat-ayat tersebut memberikan penjelasan kepada
kita bahwa Allah memberikan pujian kepada imam dari orang-orang yang berjalan lurus
dan orang tua dari para Nabi, yaitu Ibrahim ‘Alaihissalam. Allah merinci
sifat-sifat mulia, bahwa Ibrahim adalah:
1. Ummah
(أُمَّةً)
Umat (أُمَّةً) adalah
sekumpulan orang, atau sekelompok yang berkumpul menjadi satu. Tetapi dalam
ayat tersebut, Ibrahim secara sendiri, dan dalam kesendiriannya, disebut dengan
kata umat (أُمَّةً). Penyebutan
Ibrahim sebagai umat (أُمَّةً), adalah
karena pada masa itu hanya Ibrahim satu-satunya orang yang bertauhid di antara
orang-orang musyrik, di bawah kekuasaan raja yang musyrik, dalam lingkungan masyarakat
musyrik, dan di tengah-tangah adat yang penuh dengan syirik.
Nabiyyullah
Ibrahim ‘Alaihissalam disebut dengan umat (أُمَّةً), juga karena dialah seorang imam, seorang pemimpin yang dapat
ditauladani. Di tengah fitnah yang menimpanya, di bawah tekanan dan acaman
penguasa, Ibrahim tetap memegang erat ajaran tauhid yang diyakininya. Maka
sempurnalah sifat Ibrahim sebagai umat (أُمَّةً); sebagai orang yang teguh pendirian meski dalam kesendirian,
menjadi tauladan, dan mengajarkan kebaikan kepada manusia.
2. Qaanitan
lillah (قَانِتًا لِلَّهِ)
Setelah Allah menyebutkan Ibrahim adalah umat (أُمَّةً), lalu Allah menegaskan bahwa Ibrahim adalah Qaanitan lillah
(قَانِتًا لِلَّهِ), yaitu orang yang tunduk,
patuh, dan taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ketaatannya telah benar-benar
teruji dengan perintah Allah untuk menyembelih putranya Isma’il. Seorang anak
(yang saat itu) adalah anak satu-satunya, anak yang lahir dengan harapan dalam
do’a-doanya:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 100)
Dan Allah mengabulkan permohonan Ibrahim:
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ
Maka Kami beri
dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (Ash-Shaffat: 101)
Sungguh ujian yang teramat berat bagi seorang bapak yang telah lama
mengharapkan hadirnya seorang putra, jika tiba-tiba setelah putra yang
diharapkan telah hadir di depannya, telah sanggup membantu orang tuanya, lalu
datang perintah dari Allah agar sang bapak menyembelihnya.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ
السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن
شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ◌
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar". (Ash-Shaffat: 102)
Demikianlah ujian
berat bagi nabiyyullah Ibrahim, dan diapun menyelesaikan ujiannya, mentaati
perintah Allah; sami’na wa atha’na (سمعنا و أطعنا). Dan Allah
memujinya dalam kisahnya:
فَلَمَّا
أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ◌ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ◌ قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ◌ إِنَّ هَذَا
لَهُوَ الْبَلاء الْمُبِينُ ◌ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ ◌ وَتَرَكْنَا
عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ ◌ سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ◌ كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ ◌ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ ◌
Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah
dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.
Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu
(pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang
beriman. (Ash-Shaffat: 103-111)
3.
Haniifa (حَنِيفًا)
Sifat
ketiga yang melekat dalam diri Ibrahim adalam Haniifa (حَنِيفًا), yaitu
(الْمُجَانِبُ
لِلْبَاطِلِ) yang berarti orang yang menjauhkan diri dari kebatilan, atau (الْمُنْحَرِفُ
قَصْدًا عَنِ الشِّرْكِ إِلَى التَّوْحِيدِ) yang berarti orang yang
menghindarkan diri dari syirik menuju tauhid. Oleh karena itulah, pada akhir
ayat Allah menegaskan (وَلَمْ يَكُ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ) Dan bukanlah dia (Ibrahim)
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Tauhid, inilah inti dakwah semua Nabi dan Rasul. Pokok Ajaran yang
mereka sampaikan adalah sama, yaitu agar manusia bertauhid dan menjauhkan diri
dari syirik. Nabi Nuh, Idris, Hud, Shaleh, dan seluruh Nabi hingga Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyeru kepada tauhid.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ
أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللَّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.. (An-Nahl: 36)
4.
Syakiran li an’umihi (شَاكِرًا
لِّأَنْعُمِهِ)
Dengan
sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Ibrahim adalah imam yang
dapat ditauladani, taat kepada Allah, lurus dan kokoh bertauhid serta
menjauhkan diri dari syirik, lalu Allah menyebutkan bahwa Ibrahim adalah Syakiran
li an’umihi (شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ),
yaitu orang yang selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah Subhanahu Wata’ala. Telah jelas pula bagi kita
bahwa Allah telah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang bersyukur
dan ancaman bagi orang yang mengingkari nikmatNya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ
رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim:
7)
Setalah Allah menjelaskan pujianNya
tentang Ibrahim, maka pada Ayat berikutnya Allah berfirman kepada Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Kemudian Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang
hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl: 123)
Jika telah jelas perintah Allah
seperti dicontohkan dalam surat An-Nahl tentang Ibrahim, maka saatnya kini kita
mengevaluasi ketaatan, kekokohan tauhid, dan syukur kita kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Marilah kita bertanya:
“Apakah kita yang fasih mengucapkan sami’na
wa atha’na (سمعنا و أطعنا) adalah orang-orang yang
benar-benar taat kepada Allah?” “Dimanakah kita saat adzan dikumandangkan? Dan kenapa masjid-masjid
tampak sepi dari shalat berjama’ah?”
Marilah kita
juga bertanya:
“Ketika
kemusyrikan dan maksiat dipuja-puja dan kebenaran dicacimaki, kemanakah kita
akan memilih jalan kita?” Sungguh telah tampak jelas apa yang disabdakan
Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa Islam datang dan dianggap aneh, kemudian
akan kembali dianggap aneh.
Lalu, ketika
kita bernafas dan Allah tak meminta imbalan dari setiap hembusan nafas kita,
tidak pula pada setiap kedipan mata, tidak pada setiap detak jatung kita, serta
kita rasakan nikmat-nikmat Allah yang lain yang tidak mungkin kita mampu untuk
menghitungnya:
وَإِن
تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nahl: 18)
Kitapun bertanya dengan kalimat yang
berulang-ulang, sebanyak 31 kali disebutkan dalam satu surah Ar-Rahman: “فَبِأَيِّ
آلاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ” (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?)