Berkreasi, Berkarya, Berjuang dengan Pena

Sabtu, 29 Juni 2013

UMMU 'IMARAH

Ummu ‘Imarah: Ibu sebenar-benar Ibu

Ketika putra Ummu ‘Imarah yang bernama Habib menjadi utusan untuk menemui Musailamatul Kadzdzab si Nabi Palsu.

Musailamah bertanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?”
Habib menjawab: “Iya.”
Musailamah bertanya lagi: “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”
Habib menjawab: “Aku tuli dan buta.”
Jawaban Habib jelas dipahami. Dia tuli dan buta; tidak pernah mendengar dan melihat Musailamatul Kadzdzab sebagai Rasul. Karena jawaban itu Musailamah marah.

Berulang-ulang Musailamah menanyakan hal yang sama. Dan sebanyak pertanyaan itu Habib menjawab dengan jawaban yang tak berubah.
“Aku tuli dan buta. Lakukanlah apapun yang ingin kamu lakukan.”
Demikian jawaban tegas seorang anak shaleh dari ibu yang shalehah. Meskipun untuk setiap jawaban seperti itu dia harus kehilangan bagian-bagian tubuhnya. Ya… Setiap Habib menjawab demikian, maka Musailamah memotong satu bagian tubuhnya. Hingga pada akhirnya Habib gugur syahid dengan tubuh yang terpotong-potong.

Ketika kabar kematian putranya dengan cara seperti itu, disiksa, dan dipotong-potong tubuhnya karena mempertahankan kebenaran, Ummu Imarah, sang Ibu mulia ini bukan marah, tidak pula dia meratap-ratap. Tetapi kalimat indah dari lisannya mengungkapkan kata kesabaran yang luar biasa. Dia berucap:

“Untuk peristiwa seperti inilah aku persiapkan anak-anakku…”

Subhanallah… Itulah Ibu, sebenar-benar ibu.

Minggu, 09 Juni 2013

AL-BARAKAH

AL-BARAKAH

1.         Makna Barakah
2.         Pentingnya Barakah
3.         Bagaimana meraih barakah

1.         Makna Al-Barakah:
Di antara makna kata al-barakah (البركة) adalah an-nama’ wazziyadah (النماء و الزيادة) yang berarti tumbuh dan bertambah. Al barakah (البركة) juga bermakna al-katsrotu  fii kulli khair (الكثرة في كل خير) atau kebaikan yang banyak. Makna lain dari kata al-barakah (البركة) adalah as-sa’aadah (السعادة) yaitu kebahagiaan. [1]

Dari sekian banyak penjelasan tentang definisi kata al-barakah, dapat disimpulkan bahwa al-barakah adalah; (1) ziyadatul khair (زيادة الخير) yang berarti tambahan kebaikan, dan; (2) tsubutul khairi wa ziyadatuhu (ثبوت الخير و زيادته) atau kebaikan yang tetap dan tambahannya.

(1)   Ziyadatul khair (زيادة الخير) yang atau tambahan kebaikan.
Pengertian ini menjelaskan bahwa al-barakah berawal dari suatu kebaikan yang melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Misalnya; seorang yang mencari rejeki dengan cara yang halal kemudian mendapatkan hasil beberapa rupiah. Lalu dengan beberapa rupiah yang ia dapatkan, seseorang tersebut dapat memberikan makan kepada keluarganya, membayar biaya pendidikan, bershadaqah dan beramal jariyah dalam pembangunan mushalla. Maka pekerjaan mencari rejeki dengan cara halal yang dilakukan oleh seseorang tersebut adalah amal kebaikan. Sedangkan perbuatan memberi makan, membayar biaya pendidikan, dan amal jariyah adalah tambahan kebaikan yang lahir karena kebaikan pertama (bekerja halal). Tambahan kebaikan itulah yang disebut dengan al-barakah.

(2)   Tsubutul khairi wa ziyadatuhu (ثبوت الخير و زيادته) atau kebaikan yang tetap dan tambahannya.
Pengertian kedua ini sebenarnya sama dengan pengertian pertama. Hanya saja pada pengertian ini terdapat tambahan (ثبوت الخير) atau kebaikan yang tetap. Jika mengambil contoh seperti pada pengertian pertama, maka kebaikan yang tetap adalah berupa perbuatan seseorang mencari rejeki yang halal. Contoh lain untuk memperjelas pengertian kedua ini adalah; seseorang yang menanam pohon kelapa atau pohon lainnya. Jika dimisalkan pohon itu adalah amal kebaikan, maka buahnya baik kelapa muda maupun tua, kulit kelapanya, tempurungnya, airnya, dan janurnya, adalah kebaikan lebih dari adanya pohon (amal). Pohonnya (amal) tetap tumbuh, dan buahnya, janurnya dan lainnya (berkah) melimpah.

2.         Pentingnya Al-Barakah

Tidak dapat disangkal lagi bahwa manusia hidup dalam keterbatasan; Kekuatan terbatas, harta benda terbatas, dan bahkan umurpun juga terbatas. Dalam keterbatasannya itu, manusia tetap saja menginginkan lebih; menginginkan kekuatan lebih, harta benda berlebih, dan juga umur yang lebih lama.

Mungkinkah manusia mendapatkan keinginannya untuk mendapatkan “lebih?” Al-barakah adalah jawabannya. Manusia dapat menggapai keinginannya untuk mendapatkan “lebih” dari apa yang ada dengan cara menggapai al-barakah. Dan memang untuk mendapatkan sesuatu yang “lebih” itulah maka Allah ta’ala pencipta al-barakah memberikan jalan bagi manusia yang selalu menginginkan “lebih”.

Contoh-contoh yang telah banyak terpampang di depan kita, dalam kehidupan sehari-hari kita, telah banyak memberi ibrah (pelajaran) tentang pentingnya al-barakah dalam hidup singkat ini. Kadang kita mendapati seseorang yang biasa-biasa saja, memiliki pekerjaan yang juga biasa-biasa saja, dan dengan penghasilan yang biasa-biasa pula, akan tetapi kita mendapatinya sebagai orang yang tidak pernah mengeluh. Kehidupannya nikmat (adem ayem), makanannya cukup dan tidak harus mengemis, anak-anaknya bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik, plus masih pula dia bisa menyisihkan sebagian hartanya untuk berinfaq dan bershadaqah. Ditambah lagi anak-anaknya menjadi shalih dan shalihah.

Di sisi lain (bukan bersu’udz-dzan) kita juga sering mendapati orang-orang yang tampaknya hebat dan sukses, dengan usaha-usaha besar, dan sebagainya, akan tetapi telinga kita kadang sampai bosan mendengar mereka mengeluh, merasa kurang, dan kurang lagi. Jangankan untuk bershadaqah, karena harta benda mereka hanya untuk membesarkan usaha yang tidak pernah cukup, dan bahkan untuk itu mereka harus mencari pinjaman ke Bank atau lembaga keuangan lainnya. Atau jikapun mereka bershadaqah, tampaknya terlalu kecil dibanding kepemilikan mereka yang tampak mewah. Seperti kata orang (sindiran): “ah… ayam bertelur puyuh” (tidak sepantasnya, kan?)

Sekedar contoh lain tentang seorang teman:
Seorang teman. Pekerjaan sehari-harinya adalah menjual buku di trotoar jalan raya. Buku-bukunya hanya buku-buku biasa, bukan buku-buku “best seller” yang dijual di toko-toko besar. Begitu rutinitas yang dia lakukan setiap hari. Membuka lapaknya pagi-pagi, shalat dhuha bergantian dengan istrinya pada hari menjelang siang, lanjut melayani pembeli (kalau ada) sampai dzhuhur, ke masjid untuk jama’ah dzuhur, dan tutup menjelang ashar. Sekilas hanya seperti itu. Mungkin orang-orang yang lewat dan tidak mengenalnya akan merasa iba atau kasihan padanya. Tetapi orang akan terbelalak kaget jika mengetahui apa yang telah dia dapatkan dari jerih payah dalam halalnya. Ternyata setiap ke masjid untuk shalat jama’ah 5 waktu, dia selalu memasukkan lembaran-lembaran uang ke dalam kotak amal jariyah masjid. Anak-anaknya juga telah selesai menempuh pendidikan. Yang lebih hebat, keduanya (suami istri) telah menyempurnakan rukun Islam yang kelima, ibadah Haji. Padahal banyak yang (tampaknya) lebih sukses usahanya masih sering mengeluh, merasa kurang, mencari pinjaman ke Bank, dan… dan… Bukan su’udz-dzan dan bukan vonis tentang rejeki yang tidak berbarakah, akan tetapi ini hanya contoh yang ada. Mungkin Andapun sering menyaksikan yang serupa.

3.         Bagaimana menggapai al-barakah?

Al-Barakah tidak dapat diraih kecuali dengan menyatukan dua jalan; (1) mendapatkan dengan jalan yang baik; (2) mengeluarkan dengan jalan yang baik. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Harta yang didapat dengan jalan yang baik (halal) tidak akan berbarakah jika dikeluarkan dengan jalan yang tidak baik (haram). Jika seseorang telah mencari rejeki dengan jalan yang baik, memeras keringat, membanting tulang dengan cara yang halal, maka rejeki yang ia dapatkan tidak akan berbarakah jika ia keluarkan untuk membeli khamr, membeli nomor togel, atau untuk sesuatu yang tidak penting. Sebaliknya, upaya-upaya yang diharamkan juga tidak dapat mendatangkan barakah, meskipun dimanfaatkan untuk kebaikan. Seperti harta hasil judi untuk membangun masjid, mahrul baghyi (مهر البغي) atau upah pelacuran untuk zakat, dan sebagainya.

Semoga umur, harta, ilmu, dan apa yang diberikan oleh Allah kepada kita, dapat berbarakah…
Barakallau fiinaa wa fiikum…


[1] Lisanul ‘Arab