Berkreasi, Berkarya, Berjuang dengan Pena

Kamis, 17 Maret 2011

MUATAN RELIGIUS DI TENGAH PENULIS FIKSI

Muatan Religius di Tengah-tengah para Penulis Fiksi

 1. Masalah Realitas Sastra yang Ada

Eksprresi seni, apapun bentuknya, akan dapat dijadikan titik tolak dan menjadi indikator pembaca dalam melakukan kerja analisis serta apresiasi atas ekspresi seni itu. Wujud ekspresi menunjukkan kesiapan hal tersebut pada apa yang dikatakan "sosialisasi". Ekspresi seni menyiapkan diri berinteraksi komunikasi dengan hal diluarnya. Maka jadilah buah pembahasan tentang karya seni dimana-mana, misalnya seminar, sarasehan, dan bentuk-bentuk pembahasan lain yang disukai.

Seorang pendeta Nasrani yang banyak tahu mengenai agama-agama, bahkan tentang agama Islam, membuat pernyataan, bahwa pada mulanya semua ekspresi seni itu bersifat religius. Pernyataan ini sebenarnya secara spesifik ditujukan kepada ekspresi seni bidang sastra. Seni sastra berarti seni yang dilahirkan dengan wujud tulisan (Mangunwijaya, 1988 : 11)
"Pada awal mula, segala sastra adalah religiositas"
Dinyatakan "segala sastra" berarti dengan demikian, meliputi bentuk-bentuk ekspresi karya bidang sastra. Sebagaimana orang telah memahami, bahwa bentuk-bentuk yang dimaksud adalah berupa karya prosa, perpuisian, serta karya tulis naskah drama. Semua bentuk tersebut ditulis atas dasar maksud-maksud yang terkandung dari pikiran-pikiran para sastrawan yang religius. Para penulis sastra adalah sebuah sosok yang secara alamiah mengemban dua dimensi alamiah, yaitu kalbu yang religius dan jasad fisik yang realitas empirik
.
Lalu, apakah ada ekspresi sastra, sama sekali, tidak berkandungan anasir religius?
Nah, inilah yang barangkali menarik dijadikan bahan pembicaraan. Masalahnya perkembangan waktu, serta perubahan orientasi budaya masyarakat pada gilirannya bisa  berakibat mementahkan semuanya. Semisal, kebudayaan pragmatik. Kebudayaan ini  pada akhirnya banyak mengantarkan orang memiliki kecenderungan orientasi berpikir serba lahiriah. Segala sesuatu yang terjadi akan dilihat dari hal-hal yang tampak oleh penglihatan mata real manusia. Sedangkan segala sesuatu yang tidak terlihat, bagi paham ini, tidak perlu dibicarakan di sini.

Menurut Abulhasan Annadwi (1986 : 32), secara gampang, sebab-sebab lahiriah ini bisa dilihat, namun umumnya orang jarang memiliki kesanggupan mengetahui sebab-sebab bathiniah. Memang, persoalan yang berkadar "dunia dalam" bagi masyarakat umumnya, terlalu sulit bagi mereka untuk meng-kaji. Memerlukan cara tersendiri apabila orang ingin melakukan penelusuran dimensi batiniah tersebut. Perlu melakukan langkah-langkah pendekatan kearah sana. Orang tidak harus menebak jitu, seperti yang pernah ada dalam ‘gambling’ tebak kuis, pada urusan itu. Sehingga urusan dunia batiniah itu memang benar-benar tidak segampang bila orang berurusan dengan hal-hal yang lahiriah.

Masalah dunia realitas juga bermula dari hal-hal yang kasat mata. Suatu proses penciptaan karya sastra senantiasa bertolak dari peristiwa kasat mata, kemudian lebih jauh pengarang menariknya ke pengolahan atau internalisasi menuju dunia demensi dalam. Dunia yang berkaitan erat dengan sesuatu yang lahiriah, sebagaimana dinyatakan oleh Umar Junus (1983 : 3), bahwa orang tidak mungkin berimajinasi tanpa pengetahuan, suatu realitas. Oleh karena itu, imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangakan realitas tidak mungkin dapat dilepaskan dari imajinasi.

Kadang orang membuat pernyataan yang sangat rumit dan pelik menyangkut imajinasi. Ada yang mengistilahkan, bahwa imajinasi merupakan dunia bawah sadar. Bisa saja orang membuat pernyataan lain-lain mengenai hal itu. Akan tetapi hal itu malah dapat membingungkan orang. Semua orang secara kodrati diberi bekal dasar kecakapan berimajinasi. Akal sehat menjadikan mereka sanggup menyadap suatu realitas dengan dibumbui pikiran-pikiran imajinasi.

Menulis karya sastra, menurut Umar Yunus (1983)  merupakan sebuah proses yang diawali dari suatu peristiwa nyata. Barulah setelah itu diinternalisasi dengan kemampuan imajinasi secara kreatif. Suatu daya khayal yang menyebabkan orang lebih leluasa dalam mewujudkan semua kemauan. Dengan berimajinasi orang menjadi terlepas dari kungkungan waktu dan ruang realitasnya. Tidak ada lagi sekat-sekat keterbatasan pikiran.

Menurut Danarto dalam Duapuluh Sastrawan Bicara (1984) manusia hanyalah semacam talang, saluran. Sebagai tempat penyaluran, di sana, segalanya akan mengalir lewat talang itu. Ditambahkannya, semua perasaan benci, baik, buruk maupun kotor, tentu tidak terkecuali, akan mengalir melalui talang saluran itu. Bukan berarti pasif dalam hal ini, melainkan demensi pandangnya adalah kebesaran yang Maha Mutlak. Setiap yang diciptakan oleh-Nya, tentu berlaku hukum akan mengikuti sekehendak yang menciptakan.

2. Sastra Religius

Jika pemahaman kita salah tarik atas pernyataan Danarto, manusia sebagai talang saluran, maka semua akan menjadi bingung lagi. Karena selain dari itu, Danarto juga pernah menyatakan dalam buku Duapuluh Sastrawan Bicara (1984) "Trenyata ada yang menulis digerakkan, didorong dan dijiwai oleh pandangannya itu. Sehingga pengarang merasa berkewajiban tertentu dalam menulis".

 Menangkap substansi dari pernyataan di atas, yang paling penting di sini adalah subjek penulisnya. Manusia yang menjadi penulis sangat menentukan warna dan corak dari karya yang dihasilkan. Hitam atau putih dari suatu karya sastra, tentu sangat bergantung dari pikiran apa yang ada dibenak sang sastrawan. Sehingga, pandangan ini tidak menempatkan cipta sastra sebagai buah karya yang otonom dan berdiri sendiri. Kalau ada isi dan corak yang dianggap bersinggungan dengan realitas yang ada, tentu akan berkaitan erat dengan siapa penulisnya. Didorong oleh keinginan apa/bagaimana mereka melahirkan tulisan sastra seperti itu.

Bagaimana dengan pendapat yang menyatakan, bahwa pada awal mula segala sastra itu religius?
Tentu tidak salah. Sebab lahirnya ekspresi sastra bermula dari suatu peristiwa yang diinternalisasi oleh batin atau kalbu sang pengarang, sehingga isi perasaan religius akan turut serta dilahirkan ke permukaan. Jika ada sebuah karya, yang ternyata sama sekali tidak bermuatan anasir religius, tentu karya tersebut tidak berjaminan bernilai sastra. 

3. Penulis Fiksi Kita 

 Uraian di atas bermaksud menggiring pada fokus mengenai si penulis fiksi. Sebelum beranjak jadi penulis, orang harus dijiwai tata nilai alamiah, yaitu landasan pengetahuan. Sang Maha pencipta mengisyaratkan awal mula orang mendapatkan pengetauan pada demensi realitas dengan perintah : Bacalah! (Q.S. Al-alaq : 3-5). Maka diperolehlah pengetahuan. Tata nilai yang religius ini berlaku universal bagi kepercayaan atau agama manapun tanpa terkecuali. Urusan agama tertentu punya kaidah yang sejalan, itu hanya persoalan kebingungan realitas saja. Namun esensinya akan tetap.

Dengan demikian, tidak ada pengarang sastra yang bisa mengingkari muatan religius dalam karyanya. Realita yang ada, bahwa orang yang akan jadi penulis fiksi harus sering-sering membangun kesadaran religiusitas atas dirinya. Sehingga mereka tidak mudah tergiring sekedar pemenuhan mengarang tanpa bobot muatan religius, seperti penulis fiksi paham pop yang pragmatis itu.

Apa kaitan religius dengan imajinasi?

Sastra tanpa bobot muatan perasaan manusia religius? Sama artinya dengan sebuah karya yang tidak mengandung isi. Karena yang namanya isi sastra adalah bobot perasaan. Sekarang yang terjadi, tinggal penulis kita yang banyak mengantongi terus-menerus dan mengasah perasaan-perasaan religiusnya, sehingga sudah pasti hasil karyanya nanti akan bermuatan anasir-anasir religius.


*) Affan Subandi
Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Banyuwangi.

3 komentar:

  1. salam pak affan..
    sayang blog ini tdk dilengkapi blogwalking ya pa affan.
    sy jg dibanyuwangi.alangkah senangny jika bisa terhub dg kawan2 flp bwi.
    trimakash :)

    BalasHapus
  2. syukron saran baiknya... jazakillah khairan.

    BalasHapus