Kepada yang
terhormat:
Aku yang sombong
Di Kelamahan
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Hai
Aku…
Apa
kabar hari lalu dan hari ini? Semoga segala kebaikan masa lalu menjadi bekal
untuk lebih baik hari ini, dan kesalahan masa lalu gugur terampuni dan berlalu
seperti berlalunya waktu yang tiada kan terulang kembali. Demikian pula
mudah-mudahan kebaikan hari ini akan menjadi benih yang tertanam, subur,
berkembang dan berbuah di hari esok, serta segala dosa dan kesalahannya
terhapus dengan tetes-tetes keringat kepayahan hari ini. Amin.
Hai
Aku…
Jika
bukan karena pakaian yang telah Allah berikan, maka kamu adalah makhluk
telanjang. Jika bukan karena makanan yang Dia anugerahkan, maka kamu adalah
makhluk yang kelaparan. Dan jika bukan karena sinar petunjuk yang Dia
pancarkan, tentu kamu adalah makluk buta dan tersesat. Bukankah telah diajarkan
kepadamu kalimat hauqolah “laa haula wa laa quwwata illaa
billaahi-l-‘aliyyi-l’adziim?” Tentu kamu akan sepenuhnya menyadari makna
dibalik kalimat itu bukan? Bahwa kamu bukan siapa-siapa selain dari makhluk
lemah tanpa daya, makhluk miskin tanpa harta, makhluk kerdil dan buta.
Jika
kamu menganggap dirimu hebat, cobalah bertanya kepada dirimu sendiri, apa
kehebatanmu? Apakah kamu masih merasa hebat ketika kamu merasa ketakutan
melihat kilat menyambar dan halilintar mengggelegar di atas kepalamu? Jika kamu
hebat, kenapa tidak kamu pasang saja badanmu menghadapinya? Kenapa kamu berlari
mencari perlindungan di balik tembok tebal dengan badan gemetaran? Lidahmupun
komat-kamit mengucap kata: “Ya Allah…” “Allahu Akbar…” “Astaghfirullah…”
“Subhanallaah…” Ternyata kamu hanyalah makhluk kecil. Tetapi sayang, meskipun
dalam gemetaranmu, dalam komat-kamit bibirmu, kamu tetap saja tidak menyadari
sepenuhnya tentang kekerdilanmu. Kala badai itu telah berlalu, langit kembali
cerah, hujan beserta petir telah pergi, kamupun lupa. Kamu masih tetap berjalan
angkuh, merasa hebat. Kamu lupa bahwa beberapa detik sebelumnya kamu hanyalah
makhluk kecil yang berusaha berdiri di atas kakimu yang gemetaran. Kalimat
dzikirmu juga tidak lagi terdengar. Berganti dengan tawamu yang meledak-ledak.
Lalu kamupun bercerita: “Tadi kilat hebat, halilintar menggelegar” dengan
segala drama ceritamu. Dan akhirnya kamu berkata: “Untunglah tadi ada tempat
berteduh…” dan kau sebutkan dinding-dinding yang kau jadikan tempat sembunyi.
Hanya sekali atau mungkin saja tak kau sebutkan kata “Allah” dalam curhat
ceritamu. Bukankah ketika peristiwa itu terjadi yang kamu sebut hanya
kalimat-kalimat “Allah?” Bukankah dalam gemetaranmu di antara kilat dan
halilintar yang menyambar terbersit peromohonan agar Allah menyelamatkanmu?
Ternya kamu bukan saja melupakan Allah yang telah menyelamatkanmu, tetapi kamu
juga telah melupakan dirimu sendiri, makhluk kecil tak berdaya sama sekali.
Entah kata apa yang lebih tepat untuk menjulukimu selain dari kata sombong.
Makhluk lemah yang sok kuat, sok hebat.
Hai
Aku…
Ketika
kamu terbaring lemah karena sakit yang kamu derita, kamu hanya badan yang
tergolek lesu, pucat pasi wajahmu, dan pandangan matamu sayu penuh harap
kesehatan. “Allah…” kata itu terdengar lirih darimu. Di atas kasur empuk yang
tak terasa nyaman bagimu, dalam balitan selimut yang tak mampu menyenyakkan
tidurmu, dalam ketenangan yang meresahkanmu, siapakah yang kamu panggil?
“Allah.” Kamu memanggilNya pada malam di kala semua orang telah terlelap dalam
tidur, mengadukan sakitmu kala pagi sebelum orang-orang di sekitarmu membuka
mata, memohon kesembuhan dariNya di hampir setiap detik yang kamu lalui, tak
kenal waktu. Ternyata, kamu yang dalam keseharian merasa hebat, hanyalah jasad
lemah lunglai. Tetapi sekali lagi sungguh sayang, kesombonganmu belum juga
hilang. Karena dalam sehatmu, kamu lupakan Dia yang selalu kau sebut namaNya.
Kamu yang kini telah sehat benar-benar telah menjadi makhluk sombong dan tak
tahu diri. Bahkan panggilan untuk menghadapNya yang hanya 5 waktu dalam sehari
semalam tak sungguh-sungguh kamu perhatikan. Bukankah dalam sakitmu, kamu
memanggilnya setiap detik kesadaranmu dan Dia datang dengan rahmatNya kepadamu?
Hai
Aku…
Sungguh
kesombonganmu adalah malapetaka bagimu. Bukankah Iblis dikeluarkan dari alam
para Malaikat juga karena kesombongannya? Maka jika kesombongan itu kamu
biarkan ada di dalam hatimu, berarti kamu telah membiarkan warisan iblis
menempati hatimu. Maka bersihkanlah dirimu, bersihkan jiwamu dari sombong.
Hai
Aku…
Persis
ketika hujan telah reda sore ini, surat ini selesai ditulis. Semoga surat ini
menjadi saran dan nasehat baik bagimu. Amin.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Nasehat,
18042013
Sahabatmu
Saya
Ana Kulo Dalem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar